STRUKTUR GEOLOGI DAN SEDIMENTASI BATUBARA FORMASI BERAU
Abstract
Perkembangan Sub-Cekungan Batubara Berau selama Tersier di
Kalimantan Timur berada di continental plate margin dalam suatu sistem
passive margin, berhubungan dengan regangan (rifting) Selat Makasar.
Formasi Berau merupakan formasi pembawa batubara di Sub-Cekungan Berau
yang berumur Miosen Tengah. Proses pengendapan batubara Formasi Berau di
lingkungan delta melalui sisi flexure bidang sesar normal halfgraben
berupa sliding gravity.
Pengaruh struktur geologi terhadap lapisan batubara baik vertikal maupun lateral secara langsung berpengaruh terhadap ketebalan lapisan batubara, kualitas dan kelayakan penambangannya. Baik dalam skala besar maupun kecil khususnya karakter internal dan eksternal susunan lapisan batubara atau sedimen pengapitnya. Karakter struktur endapan batubara dapat untuk memecahkan permasalahan korelasi stratigrafi, perhitungan cadangan / sumber daya batubara dan sebaran kualitas batubara sebelum dilakukan rancangan penambangan. Pertimbangan struktur geologi tersebut untuk mengetahui pola sebaran batubara dan sejauh mana pengaruh sebaran batubaranya. Tulisan ini disusun selama penulis mengikuti kegiatan eksplorasi di Binungan Blok 1 – 4, dan pengamatan singkapan di Binungan Blok 1 - 4 PIT K, dan Sambarata PIT Gaharu.
KAJIAN TEORI STRUKTUR GEOLOGI LAPISAN BATUBARAPengaruh struktur geologi terhadap lapisan batubara baik vertikal maupun lateral secara langsung berpengaruh terhadap ketebalan lapisan batubara, kualitas dan kelayakan penambangannya. Baik dalam skala besar maupun kecil khususnya karakter internal dan eksternal susunan lapisan batubara atau sedimen pengapitnya. Karakter struktur endapan batubara dapat untuk memecahkan permasalahan korelasi stratigrafi, perhitungan cadangan / sumber daya batubara dan sebaran kualitas batubara sebelum dilakukan rancangan penambangan. Pertimbangan struktur geologi tersebut untuk mengetahui pola sebaran batubara dan sejauh mana pengaruh sebaran batubaranya. Tulisan ini disusun selama penulis mengikuti kegiatan eksplorasi di Binungan Blok 1 – 4, dan pengamatan singkapan di Binungan Blok 1 - 4 PIT K, dan Sambarata PIT Gaharu.
1. FAKTOR SYN-DEPOSITIONAL
Secara umum sedimen pembawa batubara diendapkan mulai dari tepi hingga tengah cekungan, sedangkan struktur geologi sangat berpengaruh terhadap akumulasi sedimen dan jumlah suplai material rombakan yang diperlukan guna mengetahui runtunan lapisan batubara, sebaran dan ciri lingkungan pengendapanya. Efek diagenesa selama akumulasi sedimen berlangsung bisa menyebabkan deformasi struktur (pensesaran dan perlipatan), seperti gaya tekan ke arah bawah terhadap semua lapisan sedimen dan batubara.
2. FAKTOR MIKRO-STRUKTUR
Gabungan akumulasi ketebalan sedimen dan kecepatan penurunan cekungan menyebabkan ketidak stabilan terutama di bagian tepi cekungan. Akibat adanya struktur pembebanan ketika sedimen masih dalam bentuk fluida, menyebabkan sedimen pembawa batubara terlihat berbentuk struktur slumping,
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 2, No. 1, Januari 2009
ciri lain seperti: injeksi sedimen ke dalam lapisan bagian atas dan bawah (klastik dike) Contoh injeksi lapisan batubara yang menerobos lapisan sedimen seperti di high wall Binungan Blok 7, PIT K seam O.
Kehadiran perselingan mudstone, sandstone dan batubara dibawah kondisi struktur pembebanan, bisa menyebabkan perubahan variasi lapisan batubara seperti : erosi di bagian dasar lapisan batubara oleh channel sandstone, flame structure, distorted dan dislocated ripples, fold and contorted bedding (Gambar 1).
Gangguan ketidakstabilan lingkungan pengendapan, merupakan salah satu petunjuk adanya reaktifasi kembali sesar-sesar normal akibat struktur pembebanan dari akumulasi sedimen di cekungan, umumnya menghasilkan sedimen sistem aliran gravitasi (gravity flow) (Gambar 2)
3. FAKTOR MAKRO-STRUKTUR
Sesar dalam cekungan sedimen bisa menerus dan aktif kembali sehingga bisa mempengaruhi lapisan batubaranya, seperti : ketebalan serta karakter susunan lapisan sedimennya. Pengaruh sesar growth fault dalam cekungan tektonik bisa menyebabkan penebalan lapisan batubara secara setempat, hal ini disebabkan penurunan cekungan akibat pensesaran. Sedangkan di daerah paparan relatif stabil dan kecepatan penurunan relatif lebih lambat. Dengan demikian kecepatan progradasi pengendapan sedimen yang dikontrol oleh growth fault relatif lebih cepat dibandingkan pengendapan di daerah paparan.
Sesar growth fault berpengaruh terhadap proses pengendapan sedimen, bidang sesar growth fault tersebut merupakan zona bidang gelincir (failure) menyebabkan gravity sliding berupa longsoran sedimentasi di cekungan tersebut. Tekanan yang sangat kuat terhadap batupasir lempungan yang belum kompak menyebabkan gradient patahannya besar. Bagian atasnya curam dan landai ke arah bidang lapisan patahan (flexure) di sepanjang roof lapisan batubara. Sesar-sesar tersebut akan mengerosi sebagian, sebelum sedimennya longsor ke bawah.
Lapisan batubara yang mengalami splitting (bercabang) merupakan petunjuk adanya sesar growth fault. Reaktivasi kembali sesar-sesar tersebut dapat menghasilkan bentuk lapisan batubara yang melengkung ke bawah dan ke atas, dan selanjutnya diikuti lapisan sedimen non batubara yang bentuknya melengkung juga (Gambar 3).
Perubahan secara periodik di level dasar lingkungan delta plain serta pengaruh pergerakan sesar, menyebabkan perubahan karakter perkembangan batubara, hal ini seiring dengan naiknya muka air rawa. Dengan demikian batubara akan berkembang lebih intensif, sedangkan pengaruh masuknya material rombakan non batubara sangat kecil, sehingga kandungan abu (ash) batubaranya rendah. Jika terjadi penurunan muka air, maka akumulasi batubara akan terhambat perkembangannya, sedang material rombakan sedimen semakin besar menyebabkan kandungan abu (ash) tinggi atau bahkan seluruh lapisan batubara ashnya bisa tinggi. Di sisi lain batubara yang terendam air (low moor) kemungkinan bisa terkontaminasi air laut, sehingga menghasilkan kandungan sulfur yang lebih tinggi terutama di bagian top lapisan batubara
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 2, No. 1, Januari 2009
Gambar 1. Struktur deformasi akibat pembebanan sedimen menghasilkan distorted dan dislocated bedding terhadap lapisan batubara.
Gambar 2. Ketidakstabilan cekungan batubara
di beberapa tempat, menyebabkan reaktifasi kembali sesar normal half graben, terjadi longsoran gravity sliding (slumping).
Coal
Coal
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 2, No. 1, Januari 2009
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 2, No. 1, Januari 2009
Gambar 3 Menjelaskankan kemungkinan terbentuknya splitting lapisan batubara yang disebabkan perubahan pergerakan sesar selama pengendapan gambut berlangsung.
Keterangan gambar 3.
Gambar 3(A), Pergerakan sesar mengakibatkan pelengkungan lapisan batubara.
Gambar 3(B), Ketika lapisan gambut mengalami pelengkungan, di atasnya diendapkan sedimen mudstone, dan setelah aktifitas berhenti akumulasi gambut berkembang lagi menyesuaikan level semula dari bagian top lapisan gambut yang tidak mengalami splitting.
Gambar 3(C), Pergerakan sesar terhadap lapisan batubara memberikan 2 pengertian, sebagian mengalami pengangkatan sebagai awal batubara tersebut akan splitting dan sebagian mengalami penurunan menghasilkan splitting batubara.
Growth fold bisa mempengaruhi pola pengendapan cekungan batubara, adanya kecepatan erosi dan sedimentasi menyebabkan pengendapan batubara di beberapa tempat. Adanya pemotongan channel oleh suplai rombakan sedimen yang terus membumbung dapat membentuk sand bar.
Akumulasi gambut yang terus berkembang dalam runtunan lapisan sedimen mudstone yang tebal, membentuk lipatan oversteeply, hal ini disebabkan mudstone tersebut terkompresi ke arah bawah di kedalaman tertentu, menyebabkan lapisan sedimen tertekan ke atas, akibatnya secara setempat di daerah tersebut membentuk antiklin- sinklin, selain itu terlihat intrusi sedimen klastik dari bawah menorobos lapisan sedimen di atasnya.
Sub-Cekungan Batubara Berau, umumnya pola strukturnya tersusun stabil di batuan yang berumur Tersier. Bentuk antiklinnya mulai dari landai hingga curam atau bahkan menunjam dan merupakan satu kesatuan antara sesar normal dan steep reverse fault yang berada di sekitar sumbu lipatan.
Sinklin yang terbentuk relatif luas dan lebar dengan kemiringan dip kecil, sedangkan transisi antara dua struktur tersebut merupakan dasar adanya representasi jenis sesar steep reverse fault. Pembentukan lipatan growth fold disebabkan oleh sliding gravity melalui bidang sesar steep reverse fault. Lipatan growth fold terbentuk karena gravity sliding yang telah lanjut dan berasosiasi dengan akumulasi sedimen yang sangat tebal seperti di Sub-Cekungan Batubara Berau serta pengaruh tegasan tension akibat rifting.
Pola struktur tersebut dapat dilihat di Sub-Cekungan Berau yaitu berupa antiklin dan sinklin, contoh : Blok Sambarata PIT Gaharu, PIT Agatis merupakan sayap antiklin-sinklin, dip relatif ke arah ke barat, besar dip 50° – 55°, diasumsikan bahwa dip besar di sayap antiklin-sinklin tersebut merupakan bagian kepala dari bentuk slumping, pergerakan bidang sesar thrust fault relatif searah bidang perlapisan batuan. Kedudukan dip yang besar di bagian kepala slumping menyebabkan penebalan lapisan batubara dan peningkatan nilai kalori.
Sinklin Rantau Panjang merupakan sinklin simetri dengan dip relatif landai 10° – 15°, tebal batubara hingga 3,5 meter, diasumsikan kedudukan dip landai merupakan manifestasi dari bentuk ekor dari slumping.
Progradasi pengendapan sedimen di lingkungan delta berlangsung cepat sesuai dengan arah pengendapannya (resultant) hingga menuju lingkungan fluvial (fase regresi), menyebabkan jumlah lapisan batubara menjadi multiple seam.
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 2, No. 1, Januari 2009
4. POST - DEPOSITIONAL
Struktur geologi yang dihasilkan dari post-depositional adalah : kekar, sesar, dan lipatan. Kehadiran mineral presipitasi seperti gypsum juga merupakan hasil post-depositional.
a. SESAR
Sesar normal sebagai produk tegasan utama vertikal hasil gaya gravitasi,sesar normal umum dijumpai di lapisan batubara yaitu di bagian sayap-sayap lipatan,pergeserannya dapat mencapai beberapa meter, dip bidang sesar normal mulai 60° – 70° (Gambar 4).
Sesar dapat menyebabkan seretan (drag) sepanjang bidang patahan, sehingga batuan sekelilingnya juga bergeser sepanjang arah pergeseran dari sesar tersebut. Apabila berupa sesar besar (major fault) maka sesar tersebut dapat menggeser seluruh lapisan batuan dan batubara hingga beberapa meter, dimana zona sesar tersebut berupa bidang hancuran dan bisa terlihat di high wall tambang batubara terbuka (gambar 5). Zona hancuran dari zona sesar tersebut dapat dilihat, salah satunya di Binungan Blok 7, PIT K. high wall.
Pembentukan sesar normal dalam skala besar disebabkan oleh gaya tension yang tertarik karena regangan (rifting) di continental crust, searah dengan sesar-sesar normal yang terjadi secara di lokal area, sesar normal skala besar tersebut membentuk struktur geologi half grabben.
Gambar 4. sesar normal di lapisan batubara dengan throw 2 meter.
Coal
Coal
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 2, No. 1, Januari 2009
Gambar 5. Zona sesar di high wall tambang terbuka.
Bidang sesar sudut kecil menyebabkan pergerakannya relatif turun disebut sebagai sesar lag fault. Lag fault berasal dari retardation hanging wall selama pergerakan berlangsung. Sesar Lag Fault terletak di bagian atas dari thrust fault, sesar ini terbentuk karena retardation selama pergeseran berlangsung (gambar 6).
Gambar 6. Sesar Lag Fault di atas Thrust Fault
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 2, No. 1, Januari 2009
Pembentukan sesar reverse fault disebabkan oleh system arah tegasan utamanya horizontal sedang tegasan terkecil adalah vertical. Reverse fault dengan bidang sesar sudut besar, merupakan zona struktur yang luas dan berasosiasi dengan pengangkatan regional Sub-Cekungan Batubara Berau (Neogen Syn-Orogenic Regression Phase), hal ini terbukti dengan adanya intrusi batuan beku andesit di Sub -Cekungan Berau. Sesar reverse fault dengan bidang sesar sudut kecil (< 45°) lebih umum ditemukan (Gambar 7).
Gambar 7. Pergeseran lapisan batubara akibat reverse fault, throw 1,5 meter
Apabila bidang sesar sudutnya kecil, pergeseranya lateral, maka sesar tersebut bisa digolongkan sebagai thrust fault. Bentuk sudut kecil sesar reverse fault dikontrol oleh batuan-batuan yang tersesarkan, terutama sekali bahwa bidang sesar thrust fault pergerakannya relatif mengikuti bidang perlapisan batuan dan sebagian memotong perlapisan batuan.
Susunan lapisan batubara, terdiri dari seat earth dan mudstone dengan sisipan batupasir, kadang-kadang bila bidang sesar sudut kecil pergerakannya sering mengikuti roof atau floor dari lapisan batubara. Dampak dari peristiwa tersebut adalah penurunan kualitas kualitas batubara, karena terkontaminasi oleh rombakan batuan sekelilingnya.
Tegasan tektonik yang bekerja terhadap lapisan batubara menghasilkan shear-shear dan pensesaran lapisan batubara, shear tersebut membentuk pola shear arcuate.
b. LIPATAN
Batubara dalam susunan runtunan lapisan umumnya terlipat menjadi beberapa jenis lipatan.
Kendala di lapangan adalah pembuktian bahwa dip tersebut adalah true dip atau apparent dip harus hati-hati, demikian juga adanya dissected terrain dip bisa nampak di sisi lembah. Hal ini kemungkinan bukan sebagai true dip perlapisan tetapi refleksi tinggian stuktural secara lokal, umumnya berupa tepi cekungan yang tidak stabil, menyebabkan terjadi pergerakan massa sedimen berbentuk slumping dan terlihat seperti perlapisan atau lipatan, dengan demikian kemiringan dip lapisan tampak sangat curam.
Gaya kompresi terhadap lapisan batubara selama perlipatan menghasilkan lipatan antiklin landai disertai adanya thrust sepanjang tonjolan
Coal
Coal
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 2, No. 1, Januari 2009
(nose) dari lipatan tersebut, bentuk seperti ini adalah jenis antiklin queue.
Lapisan bisa mengalami penipisan di bagian tengah (pinch out) sepanjang
sayap lipatan fold limb dan terlihat seperti aliran sepanjang sumbu antiklin
(Gambar 8). Peristiwa tersebut kira-kira berasal dari 2 arah normal antara satu
dengan lainnya, batubara tersebut terkonsentrasi sehingga membentuk struktur
pepper-pot, gambaran umum seperti ini hanya dijumpai di daerah tektonik kuat,
sehingga mengalami deformasi yang intensif.
Gambar 8. Pembentukan sesar naik melalui proses lipatan
Gambar 9. Model rekonstrusi pengendapan progradasi delta Formasi Berau di
Sub-Cekungan Berau. Slumping – Lipatan (Growth Fold) – Growth Fault
Sand Bar
Coal
Formasi Berau
Reverse Fault
Reverse Fault
( D )
( B )
Growth fault
Timu Barat r
Ekor Thrust Fault
Kepala
Slumping
Slumping
Half Graben (normal fault)
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 2, No. 1, Januari 2009
5. RESUME
1. Formasi Berau merupakan formasi pembawa batubara di Sub-Cekungan Berau selama Miosen Tengah diendapkan melalui proses progradasi delta, berupa sliding gravity membentuk struktur slumping, perlipatan (growth fold) berupa antiklin-sinklin, dan growth fault (thrust fault, reverse fault). Rezim tegasan yang bekerja adalah ekstensional, produk rifting, membentuk halfgraben berupa sesar-sesar normal.
Akibat sliding gravity menyebabkan penimbunan akumulasi sedimen yang tebal menghasilkan struktur pembebanan slumping berupa growth fold kemudian diikuti dengan pembentukan growth fault. Perkembangan growth fault dimulai dengan pembentukan thrust fault (sudut kecil), dimana sudut bidang sesar < 45° pergerakannya relatif mengikuti bidang lapisan, kemudian berkembang menjadi reverse fault (sudut besar) dimana sudut bidang sesarnya > 45° dan pergerakannya akan memotong bidang lapisan batuan.
Dampak lain akibat struktur pembebanan saat diagenesa berlangsung adalah reaktivasi kembali sesar-sesar basement, menyebabkan splitting lapisan batubara dan injeksi fluida sedimen menerobos batuan sekitarnya dan pembentukan zona milonit di litologi shale.
Struktur pembebanan sangat berperan penting menghasilkan tegasan gravitasi membentuk shear-shear fracture dan shear tersebut memotong bidang perlapisan batuan dan relatif searah dengan bidang bidang perlapisan batuan, dengan demikian shear tersebut merupakan bidang shear flexure dan sangat berpotensi terjadi longsoran. Perkembangan shear-shear tersebut akan membentuk sesar normal, secara umum throw pergeseran sesar normal hanya beberapa meter. kasus ini bisa dilihat di high wall Binungan 7 PIT K.
Asumsi penulis, bentuk geometri slumping terdiri dari kepala dan ekor. Bagian kepala mempunyai kedudukan dip besar (> 45°), Sambarata PIT Gaharu kemiringan dip lapisan antara 50° – 55°, sedangkan bentuk ekor mempunyai dip rendah (landai), Sinklin Lati merupakan sinklin sudut kecil (landai), terbentuknya sinklin tersebut karena pengaruh tegasan deformasi hasil pergerakan sesar-sesar antara thrust fault dan reverse fault dengan dimensi relatif sempit, sedangkan pembentukan antiklin – sinklin dimensi jarak antara thrust fault dan reverse fault adalah lebih lebar. Ketebalan batubara di bagian kepala dari struktur slump dengan dip curam lebih tebal dan rank batubaranya lebih tinggi dibanding lapisan batubara di bagian ekor slump dengan dip landai.
Siklus perulangan sistem progradasi delta akan diikuti dengan siklus pembentukan rawa gambut sehingga jumlah lapisan batubara yang dihasilkan menjadi multiple seam, seperti yang ada di Sub-Cekungan Berau.
Bentuk dan pola pengendapan delta memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap pola sesar-sesar yang ada di wilayah Sub-Cekungan Berau.
2. Faktor-faktor pembentukan struktur geologi di Sub-Cekungan Berau.
a. Syn-depositional, bersamaan dengan proses diagenesa sedimen berlangsung.
b. Mikro-Struktur
Deformasi struktur akibat pembebanan seperti injeksi fluida sedimen menerobos batuan sekitarnya, pelengkungan sedimen (lipatan mikro),
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 2, No. 1, Januari 2009
zona milonite (shale) dan sesar-sesar minor di bagian bottom lapisan batubara.
c. Makro-Struktur
Pembentukan struktur slump – lipatan growth fold – sesar growth fault
d. Post-depositional : kekar, sesar normal, lipatan.
3. Sedimen-Sedimen Pembawa Lapisan Batubara adalah :
Endapan Overbank (coal swamp), Endapan Splay, Endapan Levee dan Endapan Channel diendapkan di lingkungan delta plain. Singkapan endapan-endapan tersebut di lapangan tertutup oleh endapan batupasir Sand Bar.
4. Gangguan sedimentasi batubara terutama aktifitas pergerakan channel bisa
menyebabkan terjadi washout, parting dan splitting batubara.
5. Variasi jenis tumbuhan pembentuk, bentuk morfologi dasar cekungan rawa dan perubahan muka air, sangat berpengaruh terhadap penebalan dan penipisan lapisan batubara. Adanya penebalan-penipisan dari setiap lapisan batubara, hal ini harus menjadi pertimbangan bagi evaluation geologist dalam menentukan interval seam ketika akan berpindah dari pilot hole ke target hole.
REFERENSI
Anonim, 1999, Geology Map PT. Berau Coal, East Kalimantan, (unpublished).
Anonim, Cropline Coal Map, Binungan 1 – 2, PT. Berau Coal, East Kalimantan (unpublished).
Anonim, Geo. Operation Job Descriptions PT. Berau Coal, East Kalimantan (unpublished).
Koesoemadinata.R.P.2000,Outline of Tertiary Coal Basin of Indonesia.
Reading. G.H., 1982, Sedimentary Environments and Facies, Department of Geology and Mineralogy, University of Oxford, Balckwell Scientific Publications. 15 – 59p, 97 – 142p.
Thomas. L., 1992, Practical Coal Geology. John Wiley & Sons Ltd. 66 – 93p.
BATUBARA
Batubara
merupakan hasil dari akumulasi tumbuh-tumbuhan pada kondisi
lingkungan pengendapan tertentu. Akumulasi tersebut telah dikenai
pengaruh-pengaruh synsedimentary dan post-sedimentary. Akibat
pengaruh-pengaruh tersebut dihasilkanlah batubara dengan tingkat
(rank) dan kerumitan struktur yang bervariasi.
Batubara
adalah batuan sedimen yang dapat terbakar, terbentuk dari endapan
organik, utamanya adalah sisa-sisa tumbuhan dan terbentuk melalui
proses pembatubaraan. Potensi batubara Indonesia masih memungkinkan
untuk lebih ditingkatkan lagi dengan memberikan prioritas yang lebih
besar pada pengembangan dan pemanfaatannya untuk meningkatkan peranan
batubara.
Di
Indonesia, endapan batubara yang bernilai ekonomis terdapat di
cekungan Tersier, yang terletak di bagian barat Paparan Sunda
(termasuk Pulau Sumatera dan Kalimantan), pada umumnya endapan
batubara ekonomis tersebut dapat dikelompokkan sebagai batubara
berumur Eosen atau sekitar Tersier Bawah, kira-kira 45 juta tahun
yang lalu dan Miosen atau sekitar Tersier Atas, kira-kira 20 juta
tahun yang lalu menurut Skala waktu geologi.
Di
Indonesia produksi batubara pada tahun 1995 mencapai sebesar 44 juta
ton. Sekitar 33 juta ton dieksport dan sisanya sebesar 11 juta ton
untuk konsumsi dalam negeri. Dari jumlah 11 juta ton tersebut 60 %
atau sekitar 6.5 juta ton digunakan untuk pembangkit listrik, 30 %
untuk industri semen dan sisanya digunakan untuk rumah tangga dan
industri kecil.
Materi
Pembentuk Batubara
Hampir
seluruh pembentuk batubara berasal dari tumbuhan. Jenis-jenis
tumbuhan pembentuk batubara dan umurnya menurut Diessel (1981) adalah
sebagai berikut:
•Alga,
dari Zaman Pre-kambrium hingga Ordovisium dan bersel tunggal. Hasil
endapan batubara dari periode ini sangat sedikit.
•Silofita,
dari Zaman Silur hingga Devon Tengah, merupakan turunan dari alga.
Sedikit endapan batubara dari periode ini.
•Pteridofita,
umur Devon Atas hingga KArbon Atas. Materi utama pembentuk batubara
berumur Karbon di Eropa dan Amerika Utara. Tumbuh-tumbuhan tanpa
bunga dan biji, berkembang biak dengan spora dan tumbuh di iklim
hangat.
•Gimnospermae,
kurun waktu mulai dari Zaman Permian hingga Kapur Tengah. Tumbuhan
heteroseksual, biji terbungkus dalam buah, semisal pinus, mengandung
kadar getah (resin) tinggi. Jenis Pteridospermae seperti
gangamopteris dan glossopteris adalah penyusun utama batubara Permian
seperti di Australia, India dan Afrika.
•Angiospermae,
dari Zaman Kapur Atas hingga kini. Jenis tumbuhan modern, buah yang
menutupi biji, jantan dan betina dalam satu bunga, kurang bergetah
dibanding gimnospermae sehingga, secara umum, kurang dapat
terawetkan.
Potensi
batubara di Indonsia masih memungkinkan untuk lebih ditingkatkan lagi
dengan memberikan prioritas yang lebih besar pada pengembangan dan
pemanfaatannya untuk meningkatkan peranan batubara menjelang tinggal
landas pada awal Pelita VI. Salah satu dukungan yang disarankan
adalah pemantapan perencanaan dan pelaksanaan produksi secara
terpadu, sehingga kapasitas produksi selalu dapat memenuhi
peningkatan permintaan batubara baik dari dalam negeri maupun luar
negeri.
Batubara
terbentuk dengan cara yang sangat kompleks dan memerlukan waktu yang
lama (puluhan sampai ratusan juta tahun) di bawah pengaruh fisika,
kimia ataupun keadaan geologi. Untuk memahami bagaimana batubara
terbentuk dari tumbuh-tumbuhan perlu diketahui di mana batubara
terbentuk dan factor-faktor yang akan mempengaruhinya, serta bentuk
lapisan batubara.
Pembentukan Batubara
Batubara
terbentuk dari sisa tumbuhan mati dengan komposisi utama dari
cellulose. Proses pembentukan batubara atau coalification yang
dibantu oleh factor fisika, kimia alam akan mengubah cellulosa
menjadi lignit, subbitumine dan antrasite. Gas-gas yang terbentuk
selama proses pembentukan batubara akan masuk ke dalam celah-celah
vein batulempung dan ini sangat berbahaya. Gas metan yang sudah
terakumulasi di dalan celah vein, terlebih-lebih apabila terjadi
kenaikan temperature, karena tidak dapat keluar, sewaktu-waktu dapat
meledak dan terjadi kebakaran. Oleh karena itu, mengatahui bentuk
deposit batubara dapat menentukan cara penambangan yang akan dipilih
dan juga meningkatkan keselamatan kerja.
Tempat
Terbentuknya Batubara
Batubara
adalah mineral organik yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa
tumbuhan purba yang mengendap yang selanjutnya berubah bentuk akibat
proses fisika dan kimia yang berlangsung selama jutaan tahun. Oleh
karena itu, batubara termasuk dalam kategori bahan bakar fosil.
Adapun proses yang mengubah tumbuhan menjadi batubara tadi disebut
dengan pembatubaraan (coalification).
Faktor
tumbuhan purba yang jenisnya berbeda-beda sesuai dengan jaman geologi
dan lokasi tempat tumbuh dan berkembangnya, ditambah dengan lokasi
pengendapan (sedimentasi) tumbuhan, pengaruh tekanan batuan dan panas
bumi serta perubahan geologi yang berlangsung kemudian, akan
menyebabkan terbentuknya batubara yang jenisnya bermacam-macam. Oleh
karena itu, karakteristik batubara berbeda-beda sesuai dengan
lapangan batubara (coal field) dan lapisannya (coal seam).
Gambar
1. Proses Terbentuknya Batubara
Pembentukan
batubara dimulai sejak periode pembentukan Karbon (Carboniferous
Period) --dikenal sebagai zaman batu bara pertama-- yang berlangsung
antara 360 juta sampai 290 juta tahun yang lalu. Kualitas dari setiap
endapan batu bara ditentukan oleh suhu dan tekanan serta lama waktu
pembentukan, yang disebut sebagai 'maturitas organik'. Proses
awalnya, endapan tumbuhan berubah menjadi gambut (peat), yang
selanjutnya berubah menjadi batu bara muda (lignite) atau disebut
pula batu bara coklat (brown coal). Batubara muda adalah batu bara
dengan jenis maturitas organik rendah.
Setelah
mendapat pengaruh suhu dan tekanan yang terus menerus selama jutaan
tahun, maka batu bara muda akan mengalami perubahan yang secara
bertahap menambah maturitas organiknya dan mengubah batubara muda
menjadi batu bara sub-bituminus (sub-bituminous). Perubahan kimiawi
dan fisika terus berlangsung hingga batu bara menjadi lebih keras dan
warnanya lebih hitam sehingga membentuk bituminus (bituminous) atau
antrasit (anthracite).
Dalam
kondisi yang tepat, peningkatan maturitas organik yang semakin tinggi
terus berlangsung hingga membentuk antrasit. Dalam proses
pembatubaraan, maturitas organik sebenarnya menggambarkan perubahan
konsentrasi dari setiap unsur utama pembentuk batubara. Berikut ini
ditunjukkan contoh analisis dari masing --masing unsur yang terdapat
dalam setiap tahapan pembatubaraan.
Tabel
1. Contoh Analisis Batubara (daf based)
Dalam
pembentukan batubara, semakin tinggi tingkat pembatubaraan,maka kadar
karbon akan meningkat, sedangkan hidrogen dan oksigen akan berkurang.
Karena tingkat pembatubaraan secara umum dapat diasosiasikan dengan
mutu atau kualitas batubara, maka batubara dengan tingkat
pembatubaraan rendah disebut pula batubara bermutu rendah-- seperti
lignite dan sub-bituminus biasanya lebih lembut dengan materi yang
rapuh dan berwarna suram seperti tanah, memiliki tingkat kelembaban
(moisture) yang tinggi dan kadar karbon yang rendah, sehingga
kandungan energinya juga rendah. Semakin tinggi mutu batubara,
umumnya akan semakin keras dan kompak, serta warnanya akan semakin
hitam mengkilat. Selain itu, kelembabannya pun akan berkurang
sedangkan kadar karbonnya akan meningkat, sehingga kandungan
energinya juga semakin besar.
Untuk
menjelaskan tempat terbentuknya batubara, dikenal dua macam teori
yaitu :
a.
Teori Insitu
Teori
ini mengatakan bahwa bahan-bahan pembentuk lapisan batubara,
terbentuknya ditempat dimana tumbuh-tumbuhan asal itu berada. Dengan
demikian maka setelah tumbuhan tersebut mati, belum mengetahui proses
transportasi segera tertutup oleh lapisan sedimen dan mengalami
proses coalification. Jenis batubara yang terebentuk dengan cara ini
mempunyai penyebaran luas dan merata, kualitasnya lebih baik karena
kadar abunya relative kecil. Batubara yang terbentuk seperti ini di
Indonesia didapatkan di lapangan batubara Muara Enir – Sumatera
Selatan.
b.
Teori Drift
Teori
ini menyebutkan bahwa bahan-bahan pembentuk lapisan batubara
terjadinya ditempat yang berbeda dengan tempat tumbuhan semula hidup
dan berkembang. Dengan demikian tumbuhan yang telah mati di angkut
oleh media air dan berakumulasi disuatu tempat, tertutupoleh batuan
sedimen dan mengalami proses coalification. Jenis batubara yang
terbentuk dengan cara ini mempunyai penyebaran tidak luas, tetapi di
jumapi dibeberapa tempat, kualitas kurang baik karena banyak
mengandung material pengotor yang terangkut bersama selama proses
pengangkutan dari tempat asal tanaman ke tempat sedimentasi. Batubara
yang terbentuk seperti ini di Indonesia didapatkan dilapangan
batubara delta Mahakam Purba – Kalimantan Timur.
Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Batubara
Cara
terbentuknya batubara merupakan proses yang komples, dalam asti harus
dipelajari dari berbagai sudut yang berbeda. Terdapat serangkaian
factor yang diperlukan dalam pembentukan batubara yaitu
a.
Posisi Geotektonik
Adalah
suatu tempat yang keberadaannya dipengaruhi oleh gaya-gaya tektonik
lempeng. Dalam pembentukan cekungan batubara, posisi geotektonik
merupakan factor yang dominan. Posisi ini akan mempengaruhi iklim
local dan morfologi cekungan pengendapan batubara maupun kecepatan
penurunannya. Pada fase terakhir, posisi geotektonik mempengaruhi
proses metamorfosa organic dan struktur dari lapangan batubara
melalui masa sejarah setelah pengendapan akhir.
b.
Topografi (Morfologi)
Morfologi
dari cekungan pada saat pembentukan gambut sangat penting karena
menentukan penyebaran rawa-rawa di mana batubara tersebut terbentuk.
Topografi mungkin mempunyai efek yang terbatas terhadap iklim dan
keadaannya bergantung pada posisi geotektonik.
c.
Iklim
Kelembaban
memegang peranan penting dalam pembentukan batubara dan merupakan
factor pengontrol pertumbuhan flora dan kondisi yang sesuai. Iklim
tergantung pada posisi geografi dan lebih luas lagi dipengaruhi oleh
posisi geotektonik. Temperature yang lembab pada iklim tropis dan sub
tropis pada umumnya sesuai untuk pertumbuhan flora dibandingkan
wilayah yang lebih dingin. Hasil pengkajian menyatakan bahwa hutan
rawa tropis mempunyai siklus pertumbuhan setipa 7 – 9 tahun dengan
ketinggian pohon sekitar 30 meter. Sedangkan pada iklim yang lebih
dingin, ketinggian pohon hanya mencapai 5 – 6 meter dalam selang
waktu yang sama.
d.
Penurunan
Penurunan
cekungan batubara dipengaruhi oleh gaya-gaya tekonik. Jika penurunan
dan pengandapan gambut seimbang akan dihasilkan endapan batubara
tebal. Pergantian transgresi dan regresi mempengaruhi pertumbuhan
flora dan pengendapannya. Hal ini menyebabkan adanya infiltrasi
material dan mineral yang mempengaruhi mutu dari batubara yang
terbantuk.
e.
Umur Geologi
Proses
geologi menentukan berkembangnya evolusi kehidupan berbagai macam
tumbuhan. Dalam masa perkembangan geologi secara tidak langsung
membahas sejaran pengendapan batubara dan metamorfosa organic. Makin
tua umur batuan makin dalam penimbunan yang terjadi, sehingga
terbentuk batubara yang bermutu tinggi. Tetapi pada batubara yang
mempunyai umur geologi lebih tua selalu ada resiko mengalami
deformasi tektonik yang membentuk struktur perlipatan atau patahan
pada lapisan batubara. Disamping itu factor erosi akan merusak semua
bagian dari endapan batubara.
f.
Tumbuhan
Flora
merupakan unsure utama pembentuk batubara. Pertumbuhan dari flora
terakumulasi pada suatu lingkungan dan zona fisografi dengan iklim
dan topografi tertentu. Flora merupakan factor penentu terbentuknya
berbagai tipe batubara. Evolusi dari kehidupan menciptakan kondisi
yang berbeda selama masa sejarah geologi. Mulai dari Paleozoic hingga
Devon pertamakali terbentuk lapisan batubara di daerah lagon yang
dangkal. Periode ini merupakan titik awal dari pertumbuhan flora
secara besar-besaran dalam waktu singkat pada setiap kontinen. Hutan
tumbuh dengan subur selama masa Karbon. Pada masa tersier merupakan
perkembangan yang sangat luas dari berbagai jenis tanaman.
g.
Dekomposisi
Dekomposisi
flora yang merupakan bagian dari transformasi biokimia dari organic
merupakan titik awal untuk seluruh alterasi. Dalam pertumbuhan
gambut, sisa tumbuhan akan mengalami perubahan, baik secara fisik
maupun kimiawi. Setelah tumbuhan mati, proses degradasi biokimia
lebih berperan. Proses pembusukan akan terjadi oleh kerja
mikrobiologi (bakteri anaerob). Kecepatan pertumbuhan gambut
bergantung pada kecepatan perkembangan tumbuhan dan proses
pembusukan. Bila tumbuhan tertutup oleh air dengan cepat, maka akan
terhindar oleh proses pembusukan, tetapi terjadi proses desintegrasi
atau penguraian oleh mikrobiologi. Bila tumbuhan yang telah mati
terlalu lama berada di udara terbuka, maka kecepatan pembusukan
gambut akan berkurang sehingga hanya bagian keras saja tertinggal
yang menyulitkan penguraian oleh mikribiologi.
h.
Sejarah Sesudah Pengendapan
Searah
cekungan batubara secara luas bergantung pada posisi geotektonik yang
mempengaruhi perkembangan batubara dan cekungan batubara. Secara
singkat terjadi proses geokimia dan metamorfosa organic setelah
pengendapan gambut. Di samping itu sejarah geologi endapan batubara
bertanggung jawab terhadap terbentuknya struktur cekungan batubara,
berupa perlipatan, persesaran, intrusi magmatic dan sebagainya.
i.
Struktur Cekungan Batubara
Terbentuknya
batubara pada cekungan, umumnya mengalami deformasi oleh gaya
tektonik yang menghasilkan lapisan batubara dengan bentuk-bentuk
tertentu. Disamping itu adanya erosi yang intensif menyebabkan bantuk
lapisan batubara tidak menerus.
j.
Metamorfosa Organik
Tingkat
kedua dalam pembentukan batubara adalah penimbunan atau pengaburan
oleh sedimen baru. Pada tingkat ini proses degradasi biokimia tidak
berperan lagi tetapi lebih didominasi oleh proses dinamokimia. Proses
ini menyebabkan terjadninya perubahan gambut menjadi batubara dalam
berbagai mutu. Selama proses ini terjadi pengurangan air lembab,
oksigen dan zat terbang serta bertambahnya prosentas karbon pada,
belerang dan kandungan abu. Tekanan dapat disebabkan oleh lapisan
sedimen penutup yang sangat tebal atau karena tektonik. Hal ini
menyebabkan bertambahnya tekanan dan percepatan proses metamorfosa
organic. Proses ini akan dapat mengubah gambut menjadi batubara
sesuai dengan perubahan sifat kimia, fisik, dan optiknya.
Terbentuknya Lapisan Batubara Tebal
Lapisan
batubara tebal merupakan deposit batubara yang mempunyai nilai
ekonomis tinggi. Salam satu syarat yang dapat membentuk lapisan
batubara tebal adalah apabila terdapat suatu cekungan yang oleh
karena adanya beban pengendapan bahan-bahan pembentuk batubara di
atasnya mengakibatkan dasar cekungan tersebut turun secara
perlahan-lahan.
Cekungan
ini umumnya terdapat didaerah rawa-rawa (hutan bahaku) di tepai
pantai. Dasar cekungan yang turun secara perlahan-lahan dengan
pembentukan batubara memungkinkan permukaan air laut akan tetap dan
kondisi rawa stabil. Apabila karena proses geologi dasar cekungan
turun secara cepat, maka air laut akan masuk ke dalam cekungan
sehingga mengubah kondisi rawa menjadi kondisi laut.
Akibatnya
di atas lapisan pembentuk batubara akan terendapkan lapisan sedimen
laut antara lain batugamping. Pada tahap selanjutnya akan terjadi
kembali pengendapan batulempung yang memungkinkan untuk kembali
terbentuk kondisi rawa. Proses selanjutnya akan terkumpul dan
terendapkan bahan-bahan pembentuk batubara (sisa tumbuhan) di atas
lapisan batulempung. Demikian seterusnya sehingga terbentuk lapisan
batubara dengan diselingi oleh lapisan antara yang berupa batugamping
dan batulempung. Tidak jarang dijumpau lapisan batubara sering
terbentuk lapisan antara yang berupa batulempung yang disebut sebagai
clay band atau clay parting.
Bentuk Lapisan Batubara
Bentuk
cekungan, proses sedimentasi, proses geologi selama dan sesudah
proses pembentukan batubara akan menentukan bentuk lapisan batubara.
Mengetahui bentuk lapisan batubara sangat menentukan dalam
menghintung cadangan dan merencanakan cara penambangannya. Beberapa
bentuk lapisan batu baru, yaitu :
a.
Bentuk Horse Back
Bentuk
ini dicirikan oleh perlapisan batubara dan batuan yang menutupnya
melengkung kea rah atas akibat gaya kompresi. Ketebalan kea rah
lateral lapisan batubara kemungkinan sama ataupun menjadi lebih kecil
atau menipis.
b.
Bentuk Pinch
Bentuk
ini dicirikan oleh perlapisan yang menipis dibagian tengah. Pada
umumnya dasar dari lapisan natubara merupakan batuan yang plastis,
misalnya batulempung. Sedang di atas lapisan batubara secara setempat
ditutupi oleh batupasir yang secara lateral merupakan pengisian suatu
alur.
c.
Bentuk Clay Vein
Bentuk
itu terjadi apabila di antara dua bagian deposit batubara terdapat
urat lempung. Bentukan ini terjadi apabila pada satu seri deposit
batubara mengalami patahan, kemudian pada bidang patahan yang
merupakan rekahan terbuka terisi oleh material lempung ataupun pasir.
d.
Bentuk Burried Hill
Bentuk
ini terjadi apabila di daerah di mana batubara semula terbentuk
terdapat suatu kulminasi sehingga lapisan batubara seperti
“terintrusi”.
e.
Bentuk Fault
Bentuk
ini terjadi apabila di daerah di mana deposit batubara mengalami
beberapa seri patahan. Keadaan ini akan mengacaukan di dalam
perhitungan cadangan, akibat adanya perpindahan perlapisan akibat
pergeseran kea rah vertical. Dalam melakukan eksplorasi batubara di
daerah yang banyak gejala patahan harus dilakukan dengan tingkat
ketelitian yang tinggi.
f.
Bentuk Fold
Bentuk
ini terjadi apabila di daerah di mana deposit batubara mengalami
perlipatan. Makin intensif gaya yang bekerja pembentuk perlipatan
akan makin komplek. Dalam melakukan eksplorasi batubara di daerah
tersebut juga terjadi patahan harus dilakukan dengan tingkat
ketilitian yang tinggi.
Klasifikasi Dan Kualitas Batubara
Mutu
setiap batubara akan ditentukan oleh faktor suhu, tekanan, serta lama
waktu pembentukan. Semua faktor tersebut, kemudian dikenal dengan
istilah maturitas organik. Semakin tinggi maturitas organiknya, maka
semakin bagus mutu batubara yang dihasilkan, begitu juga sebaliknya.
Berdasarkan hal tersebut, maka kita dapat mengidentifikasikan
batubara menjadi 2 golongan, yaitu:
1.
Batubara dengan mutu rendah.
Batubara
pada golongan ini memiliki tingkat kelembaban yang tinggi, serta
kandungan karbon dan energi yang rendah. Biasanya batubara pada
golongan ini memiliki tekstur yang lembut, mudah rapuh, serta
berwarna suram seperti tanah. Jenis batubara pada golongan ini
diantaranya lignite (batubara muda) dan sub-bitumen.
2.
Batubara dengan mutu tinggi.
Batubara
pada golongan ini memiliki tingkat kelembaban yang rendah, serta
kandungan karbon dan energi yang tinggi. Biasanya batubara pada
golongan ini memiliki tekstur yang keras, materi kuat, serta berwarna
hitam cemerlang. Jenis batubara pada golongan ini diantaranya bitumen
dan antrasit.
Pembahasan masing-masing jenis batubara dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Lignite, disebut juga batubara muda. Merupakan tingkat terendah dari batubara, berupa batubara yang sangat lunak dan mengandung air 70% dari beratnya. Batubara ini berwarna hitam, sangat rapuh dan seringkali menunjukkan struktur serat kayu. Nilai kalor rendah karena kandungan air yang sangat banyak (30-75 %), kandungan karbon sangat sedikit (60-68&), kandungan abu dan sulfur yang banyak (52.5-62.5). Batubara jenis ini dijual secara eksklusif sebagai bahan bakar untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Lignite dijumpai pada kondisi yang masih muda, berkisar Cretaceous sampai Tersier.
2.
Sub-Bituminous:
karakteristiknya berada di antara batubara lignite dan bituminous,
terutama digunakan sebagai bahan bakar untuk PLTU. Sub-bituminous
coal mengandung sedikit carbon dan banyak air, dan oleh karenanya
menjadi sumber panas yang tidak efisien
3. Bituminous: batubara yang tebal, biasanya berwarna hitam mengkilat, terkadang cokelat tua. Bituminous coal mengandung 68 - 86% karbon dari beratnya dengan kandungan abu dan sulfur yang sedikit. Umumnya dipakai untuk PLTU, tapi dalam jumlah besar juga dipakai untuk pemanas dan aplikasi sumber tenaga dalam industri dengan membentuknya menjadi kokas-residu karbon berbentuk padat.
4. Antrasit:
peringkat teratas batubara, biasanya dipakai untuk bahan pemanas
ruangan di rumah dan perkantoran. Batubara antrasit berbentuk padat
(dense), batu-keras dengan warna jet-black berkilauan (luster) metalik
dengan struktur kristal dan konkoidal pecah. Mengandung antara 86% - 98%
karbon dari beratnya, 9,3% abu, dan 3,6% bahan volatile. Antarasit
terbakar lambat, dengan batasan nyala api biru (pale blue flame) dengan
sedikit sekali asap. Antrasit terbentuk pada akhir Karbon oleh
pergerakan bumi yang menyebabkan pemanasan dan tekanan tinggi yang
merubah material berkarbon seperti yang terdapat saat ini.

Batubara
menurut waktu pembentukannya di Indonesia terdapat mulai skala waktu
Tersier sampai Recent. Pembagiannya dapat dijelaskan sebagai berkut:
1.
Batubara paleogen, merupakan batubara yang terbentuk pada cekungan
intranmontain, contohnya yang terdapat di Ombilin, Bayah, Kalimantan
Tenggara serta Sulawesi Selatan.
2.
Batubara neogen, yakni batubara yang terbentuk pada cekungan
foreland, contohnya terdapat di Tanjung Enim, Sumatera Selatan.
3.
Batubara delta, yakni endapan batubara yang terdapat di hampir
seluruh Kalimantan Timur
Brown
Coal vs Hard Coal menurut SNI 1998
1.
Batubara coklat (Brown coal)
Batubara
coklat (Brown coal) adalah jenis batubara yang paling rendah
peringkatnya, bersifat lunak, mudah diremas, mengandung kadar air
yang tinggi (10-70%), terdiri atas batubara coklat muda lunak (soft
brown coal) dan batubara lignitik atau batubara cokelat keras
(lignitik atau hard brown coal) yang memperlihatkan struktur kayu.
Nilai kalorinya < 5700 kal/gr (dry mineral matter free).
2.
Batubara keras (Hard coal)
Batubara
keras (Hard coal) adalah semua jenis batubara yangperingkatnya lebih
tinggi dari brown coal, bersifat lebih keras, tidak mudah diremas,
kompak, mengandung kadar air yang relatif rendah, umumnya struktur
kayunya tidak tampak lagi, relative tahan terhadap kerusakan fisik
pada saat penanganan (coalhandling). Nilai kalorinya > 5700 kal/gr
(dry mineral matter free).
Kualitas
batubara adalah sifat fisika dan kimia dari batubara yang
mempengaruhi potensi kegunaannya. Kualitas batubara ditentukan oleh
maseral dan mineral matter penyusunnya, serta oleh derajat
pembatubaraan. Umumnya, untuk menentukan kualitas batubara dilakukan
analisa kimia pada batubara yang diantaranya berupa analisis
proksimat dan analisis ultimat. Analisis proksimat dilakukan untuk
menentukan jumlah air (moisture), zat terbang (volatile matter),
karbon padat (fixed carbon), dan kadar abu (ash), sedangkan analisis
ultimat dilakukan untuk menentukan kandungan unsur kimia pada
batubara seperti : karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, sulfur, unsur
tambahan dan juga unsur jarang.
Kualitas
batubara ini diperlukan untuk menentukan apakah batubara tersebut
menguntungkan untuk ditambang selain dilihat dari besarnya cadangan
batubara di daerah penelitian. Untuk menentukan jenis batubara,
digunakan klasifikasi American Society for Testing and Material
(ASTM, 1981, op cit Wood et al., 1983). Klasifikasi ini dibuat
berdasarkan jumlah karbon padat dan nilai kalori dalam basis dry,
mineral matter free (dmmf). Untuk mengubah basis air dried (adb)
menjadi dry, mineral matter free (dmmf) maka digunakan Parr Formulas
(ASTM, 1981, op cit Wood et al., 1983).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar